Wanita dan Olahraga (baca: bola basket)
Beberapa minggu ini saya cukup terusik dengan wanita dan bola basket. Setidaknya ada 3 hal. Keresahan pribadi terkadang malah bisa menggerakkan suara-suara persona lain menjadi kesempatan bagi ide untuk berkembang menjadi gagasan yang didasari dengan keberanian personal. Alasanya jelas, karena berangkat dari pe-rasa-an. Kata orang jawa “roso ra iso digoroi” (baca: rasa tidak bisa dibohongi).
Yang pertama, tentu saja keinginan pemerintahan pusat melalui federasi untuk menyelenggarakan kompetisi wanita tertinggi (lagi).
Ndak aneh, wong sudah terjadi sebelum-sebelumnya. Saya bingung juga mau bahas mulai dari mana, 715 hari sebelum saya menulis ini, saya sudah menuliskannya, hampir 2 tahun lalu. Cukup lama bagi pelaku yang berjibaku di ranah itu, tapi cukup sebentar bagi pengampu keputusan dengan banyaknya kebijakan yang harus dia pikul. Normatif, sudah biasa.
Scroll aja kebawah di stories medium saya, sampai menemukan judul seperti dibawah ini.
UU no 11 tahun 2022 tentang keolahragaan, disebutkan bahwa olahraga dibagi menjadi 3 menurut ruang lingkupnya. Olahraga pendidikan; Olahraga masyarakat; dan terakhir Olahraga prestasi. Menyambungkan keinginan bola basket menjadi industri, merujuk buku mas Hasani Abdulgani yang berjudul Sport Marketing, maka acuan membuat kompetisi tertinggi akan bias jika memaksakan perkawinan antara prestasi dan industri diawal. Saya rasa pengampu kebijakan wes observe dan me-litbang segala aspek sebelum memutuskan keinginannya, ra mek sekedar pengen yang lahir soko emosi to.
Buku itu enak dibaca, banyak petunjuk dan lebih lagi melahirkan banyak ide tentang pemikiran diatas. Persamaan dengan beberapa tulisan saya adalah, beberapa typo. hahha
Kemaren saya juga membaca di ig seorang pemain basket putri, Dewi Putri Sungging, tentang momentum, memulai kembali dan berusaha untuk ajeg. Ndak nyambung seh cerita dia, tapi niatnya sama. Ancen angel ben ajeg.
Yang membuat saya terusik adalah, kok yo pendekatannya sama, ntar liga ga berumur panjang dan putus, lagi-lagi pelaku yang berjibaku di ranah itu menjadi korban, mohon kiranya diobserve dan di-litbang dari bawah ke atas juga, ojok mek nyawang menisor wae. Scroll ke bawah boleh untuk membaca tulisan saya tentang liga putri (lagi).
Kedua, peran wanita di pertandingan bola basket itu sendiri. Terutama di liga tertinggi putra.
Kebetulan, saya harus mengikuti via online pertandinga tim nasional putra pada saat ke Australia kemaren. Kalo tidak salah di game ke-6 atau ke-7, ke-tiga wasitnya wanita, (beberapa pertandingan sebelumnya ada satu wasit wanita), team follower salah satunya adalah wanita entah sebagai fisio atau utilities, staf pelatih salah satunya wanita (membawa folder, mungkin sebagai tukang catat?), beberapa petugas pertandingan yang duduk di meja, wanita.
Kalo dibandingkan di liga tertinggi kita, wanita hanya di liga, ada sebagai manager di tim, namun belum ada yang menyentuh secara langsung. Dulu ada seorang wasit perempuan dari Jambi, mbak Yuli, lalu diikuti wasit dari Jatim kalo ndak salah, yang beberapa waktu lalu juga memimpin pertandingan di liga.
Keresahan saya, kapan ya? Semoga akan segera ada wanita yang bersentuhan langsung dengan pertandingan bola basket itu sendiri, sehingga keinginan pengampu kebijakan untuk menaik-kan pamor bola basket putri menjadi dipercepat.
Ada contohnya kok di NBA dan WNBA, Becky Hammon, jadi asisten pelatih Pak Pop di Spurs, lalu sekarang jadi kepala pelatih Aces, dan juara!. Ini berhubungan dengan keresahan saya yang terakhir.
Ketiga, Las Vegas Aces.
Ini tim WNBA yang umurnya masih balita. Beneran! Dan musim lalu juara. Musim ini lebih mengejutkan lagi, dia membangun fasilitas yang super wah. Silahkan lihat di IG-nya. Semoga media Mainbasket atau Halobasket mengulas ini. Ndak kalah kok fasilitasnya sama tim NBA. Kok bisa, tim belum lama berkiprah di liga tertinggi, mempunyai kesempatan untuk juara, dan mewujudkannya (menjadi juara), dan membangun fasilitas yang ndak main-main. Pasti tim “baru” ini punya road map yang jelas, iya dong, kan harusnya semua tim punya kan ya? wahai para manager or para owner or para GM? Atau ndak ada sekolah atau pelatihan atau pendampingan atau panduan bagi tim untuk berkompetisi di level tertinggi? Wes pokok e melu o ae, mek se-taun rong taun sembarang wes. Apakah pendekatan ini masih layak buat kita? Atau basket putri harus mencoba pendekatan ini? (baca: melu sek wae..).
Balik ke Aces. Kok bisa ya tim putri di liga yang seimbang kesemaptan jauranya, walaupun bagi tim baru, dan punya fasilitas yang wah? Kapan ya… emang cuman berandai-andai. Mungkin pertanyaan saya terlalu jauh, terlalu jauh bermimpinya. Yowes ben.
Mbing, kan emang kotanya kota Judi, Siapa yang ga tau Las Vegas, jadi pajaknya dari judi dan entertainment gede, makanya pemerintah kota bisa dengan mudah membangun fasilitas yang wah. Jadi ya legalkan judi sebagai sponsor?
Ngomong-ngomong soal Judi, ada anomali menarik yang saya temukan di liga putra tertinggi selain 3 tulisan saya terkahir, tentang keanehan tembakan bebas yang terlalu banyak. (Sekali lagi scroll ke bawah di strories medium saya untuk baca 3 tulisan terakhir tentang anomali tersebut) .
Anomali berikutnya adalah bahwa ada angka yang kemungkinan besar bisa sering menang jika pengen taruhan.
Mau diulas ga? Hit me if you want…