Narasi, Konfirmasi dan Persepsi
(part 1)
“Coach, kapan Srikandi mulai lagi? “
Pertanyaan itu Sudah tidak terhitung lagi berapa kali meyapa telinga saya.
Saya tidak tahu. Selalu begitu jawaban “aman” saya.
Jika di tanya sedih, ya pasti sedih. Lebih sedih lagi jika mikir pemain yang belum bisa bermain lagi, wasit yang belum bisa niup lagi, team followers yang belum bisa mendampingi timnya lagi, pelatih yang belum bisa melatih lagi, belum bisa berkarya lagi.
Dan lapangan yang masih belum ramai kembali oleh srikandi-srikandi terbaik negeri ini.
Saya percaya semuanya bermuara dari dan di kompetisi. Apapun perencanaan kita, apapun prosesnya akan terwujud di kompetisi. Tapi yang lebih penting lagi, dalam konteks bola basket sebagai olahraga dunia, kompetisi adalah ujung tombak kemajuan bola basket di negara itu. Nah pertanyaannya, berapa persen yang ada di dalam liga sadar jika liga itu sedemikian pentingnya, sedemikian berpengaruhnya ?
Saya mencoba mengutarakan pandangan saya tentang hal ini. Dari subyektifitas saya. Dan ini adalah tulisan yang pajang. Saya juga heran, kekuatan apa yang mendorong saya menulis ini semua.
Apakah harus ada liga? Atau malah bola basket putri belum layak untuk dibuatkan liga? Apakah liga harus ada di tahun ini? Dan jika memang harus ada, bahkan jika hanya 3 tim saja yang siap, apakah tetap harus ada liga?
Start with why, tetiba saya teringat dengan buku karya Simon Sinek. 2 orang yang menjadi inspirasi bagi saya menyarankan untuk membaca buku ini. Well, saya akan menggunakan judul buku itu untuk pembahasan kita selanjutnya. Hanya judul bukunya yang saya pinjam. Start with, why ?
Mengapa harus ada liga?
Sebagai tempat berkembangnya bola basket putri.
Bahwa Floor% (efisiensi serangan) liga putri musim 2013–2014 sebesar 35% dan di musim terakhir Srikandi yang hanya berjalan sampai dengan seri 3, Floor%-nya 36%. Bayangkan, selama 7 tahun hanya berbeda 1%? (Musim di antaranya pasti naik dan turun, apalagi pada saat ada Surabaya Fever, pasti terlihat perbedaanya). Apakah hanya segitu pengaruh liga terhadap peningkatan efisiensi serang bola basket putri?
Apakah ini karena kompetisi yang kurang baik? Atau para pelaku di dalamnya yang kurang kompetitif? Sehingga berkembangnya hanya 1%? Atau memang bola basket kita sedang jalan di tempat? Padahal banyak media yang menyimpulkan bola basket kita semakin maju. Secara kasat mata mungkin memang terlihat maju. Namun kualitas pertandingan ya seperti yang saya gambarkan di atas. Ada data lain? Yuk beradu data.
Ok, Floor% 35% itu seperti apa seh? Saya jelaskan seperti berikut. Jadi di pertandingan tertinggi putri kita, poin terjadi kira-kira setiap 1 menit 20 detik. Dan ini adalah waktu game time ya bukan waktu normal. Bisa jadi itu selama 2 menit waktu normal, atau lebih. Diantara waktu itu para penonton disuguhkan tembakan yang tidak masuk dan turnover, sehingga ada kesempatan jari-jemari lebih memilih menekan layar smartphone. Mata lebih enak melihat Instagram daripada nonton game.
Di liga putra, rata-rata poin terjadi setiap 47 detik. Coba bandingkan mana yang lebih seru? Mana yang lebih menarik? Mana yang lebih memudahkan media untuk memasarkan value (nilai) dari liga tersebut?
Masih belum dapet kesimpulan? Saya berikan 1 lagi pandangan lain. Apakah liga putri menjadi tempat berkompetisi yang sehat jika margin poin di setiap pertandingan rata-rata 17 poin? Siapa yang mau nonton pertandingan yang berakhir dengan poin 50–33? (Selisih 17 poin). Satu lagi, di musim terakhir Srikandi, hanya 14 dari 51 pertandingan (pra musim dan musim reguler) selisih poin-nya dibawah 10. Hanya 27% dari total pertandingan yang selisihnya di bawah 10 point. Dengan kata lain 73% pertandingan berakhir dengan selisih lebih dari 10 poin. Apakah itu menggambarkan sebuah liga yang kompetitif? tempat bertumbuh yang sehat?
Lalu apakah benar, liga mempengaruhi perkembangan basket putri indonesia? Atau jangan-jangan sebagian besar belum siap bermain di level tertinggi? Atau memang kita belum tahu acuan di liga tertinggi kita harus seberapa? Apakah benar yang penting harus ada liga di tahun ini dan selanjutnya dipikir ntar?
Mengapa harus ada liga?
Berpengaruh pada sisi ekonomi.
“Sport Satellite Accounts — A European Project: New Result” leaflet published by the European Commission. Tulisan ini menjelaskan terkait kontribusi olahraga terhadap pertumbuhan ekonomi. Setidaknya ada beberapa faktor ekonomi yang terbantu. Yaitu: layanan kesehatan, suplemen dan makanan sehat, hotel, restaurant dan TV broadcast. (https://ec.europa.eu/assets/eac/sport/library/studies/study-contribution-spors-economic-growth-final-rpt.pdf)
Dengan berkembangnya olahraga, maka secara langsung menciptakan pasar untuk kebutuhan olahraga itu sendiri. Seperti apareal, perlengkapan olahraga dan sepatu. Sampai sekarang sangat banyak bermunculan apareal untuk pertandingan bola basket. Begitu juga dengan infrastruktur pendukung olahraga. Klinik fisioterapis, tempat kebugaran dan lainnya. Termasuk tenaga kecakapannya.
Di buku Sport Marketing karangan Hasani Abdulgani menjelaskan secara konkrit bagaimana olahraga kita nantinya akan menjadi industri. Namun untuk menyambut ini harus dipersiapkan dengan baik. Direncanakan dengan baik. Beliau juga menjelaskan bagaimana olahraga menjadi kendaraan untuk memasarkan sebuah brand. Apakah sekarang, dengan adanya liga putri, setiap tim sudah bersiap di sisi industri ? Apakah langkah pertama yaitu menciptakan value (nilai) tim sudah dilakukan secara sadar dan terencana?
Lalu apakah benar, liga putri mempengaruhi sisi ekonomi dari anggotanya? Apakah benar yang penting harus ada liga di tahun ini dan selanjutnya dipikir ntar?
Mengapa harus ada liga?
Persiapan tim nasional untuk prestasi internasional.
Secara kasat mata, 3 Sea Games terakhir kita selalu mendapatkan medali di sektor putri. Artinya kita konsisten berada di papan atas asia tenggara. Bagaimana ditingkat yang lebih tinggi? Kita bicara tingkat asia. 2013 adalah tahun terakhir Indonesia berlaga di FIBA Asia. Padahal edisi sebelumnya 2011 Indonesia turut berpartisipasi. Di tahun yang sama (2013) Filipina mulai ikut FIBA Asia, dan hanya Filipina, negara dari asia tenggara yang mampu bertahan sampai dengan gelaran FIBA Asia Cup terakhir. Perlu diketahui liga profesional wanita di Filipina justru mulai diresmikan tahun 2019.
Filipina yang tidak ada liga sebelum 2019 secara konsisten turut serta di ajang setingkat asia, di saat Indonesia berhenti turut serta sewaktu liga putri mulai hidup.
Asian Games 2018 menjadi panggung bagi Indonesia untuk berlaga di level Asia, karena bertindak sebagai tuan rumah. Dan Indonesia berhasil memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menduduki peringkat 8 se-Asia, yang secara langsung akan berlaga untuk Asian Games 2022 Hangzhou. Pertanyaannya, apakah competitiveness (level kompetisi) yang tersaji di liga bisa membuat kita semua lebih siap di kancah internasional? Kalo memang seperti itu, tentunya setiap tim akan bertanding dengan saling menghormati, mengeluarkan semua kemampuannya namun akan saling mendukung untuk tujuan yang lebih besar, yaitu Indonesia. Tanpa ada sanggahan, tanpa ada alasan picik, dan tanpa ada unsur ketidaksukaan.
Level kepentingan yang berbeda namun terjadi dalam waktu yang sama. Apakah harus mengedepankan tim nasional untuk laga internasional? Berarti tim di liga hilang kesempatannya untuk meraih prestasi dong?
Apakah bener untuk level internasional kita bisa lebih berprestasi dibanding tim putra? Saya belum menemukan data yang mendukung hal ini. Kembali lagi, ini adalah subyektifitas saya. Dari sudut pandang saya saja. Karena dari data akan terlihat jelas “gap” yang harus kita kejar. Seberapa effort yang harus dikeluarkan. Seberapa lama perencanaan yang harus dibuat. Ujung2 nya demi prestasi yang lebih baik dan konsisten ke depan.
Lalu apakah benar, liga mempersiapkan tim nasional untuk berprestasi di level Internasional? Apakah benar yang penting harus ada liga di tahun ini dan selanjutnya dipikir ntar?
Mengapa harus ada liga?
Kelangsungan hidup anggota bola basket putri.
Adanya liga yang bergulir, pasti akan berpengaruh terhadap semua yang berhubungan baik secara langsung ataupun tidak. Pelatih, pemain, wasit, dan official. Bahkan media dan industri kecilpun pasti ikut terpengaruh. Nah penggerak roda yang paling penting adalah tim itu sendiri, bukan liga. Jangankan liga putri, kita lihat di sisi putra. Selama 15 tahun terakhir, berapa kali pergantian operator yang menjalankan liga putra?
Tim yang berperan penting. Tim yang harusnya di upgrade. Strategi inovatif (atau strategic initiative) diperlukan untuk menjual value dari tim, yang kemudian di selaraskan dengan market value (nilai pasar). Nah dengan tim yang berinovasi di segala hal termasuk marketing, maka dengan operator yang berganti atau apapun yang terjadi, tim akan selalu siap. Bukan hanya mengandalkan uang subsidi dari operator liga. Profit sharing, semoga itu akan terjadi kelak.
Pada tahun 2016 University of North Carolina (UNC) untuk pembiayaan Athletic Department, universitas hanya menanggung 30% dari total pengeluaran. Itupun dari conference distribution. Sisanya mereka mencari dari berbagai sumber. Saya tidak mencoba membandingkan keuangan, tapi mencoba menyuguhkan sistem pendanaan. Bagaimana mereka menggunakan strategi lain untuk memenuhi kebutuhan dari Athletic Department, dan tidak menjadikan alasan untuk tidak berprestasi.
Jika tim belum bisa memenuhi kebutuhan para anggotanya termasuk pemain dengan baik, maka proses pengembangan akan terhambat. Dan mungkin akan muncul kasus match fixing seperti beberapa tahun lalu yang sempat ramai diperbincangkan.
Lalu apakah benar, liga sudah develop di sisi ini? Sudah berpengaruh dengan kelangsungan hidup anggota bola basket putri? Apakah benar yang penting harus ada liga di tahun ini dan selanjutnya dipikir ntar?
Mengapa harus ada liga?
Percontohan untuk bola basket secara nasional.
Apa tren yang ditunjukkan oleh bola basket tertinggi kita? Saat coach Gibby (Gilbertus Zibernas) datang menangani Stapac Jakarta dan membawa tim tersebut juara IBL Indonesia 2019, dia memperkenalkan kepada kita sebuah action yang dikenal Spain PnR (Spain Pick and Roll). Silahkan dicari di media apapun, mulai kapan Spain PnR digunakan di Eropa. Percaya atau tidak, selama itu kita tertinggal, sejauh itu “gap” kita.
Saya coba mengingat apa saja ball screen coverage yang paling sering digunakan di Indonesia. Tanpa mendiskreditkan siapapun, saya hanya teringat switch, hedge, go under. Padahal kompetisi di negara lain sudah mengenal triple switch, switch and late blitz, go over and drop, flat dan lain sebagainya. Pasti mereka pake alasan yang kuat dan mendasar pada saat membuat itu. Coba deh dengerin podcast yang membahas bola basket internasional, atau channel YouTube yang membahas bola basket secara modern. Slappin’ the glass, Basketball Immersion dan masih banyak lagi platform edukasi bola basket modern yang lain.
Mainbasket, @basketballstatistic lebih dari sekali menjelaskan tentang pendekatan posisi bermain bola basket modern yang tidak berdasar hanya 5 posisi saja. Dan seorang pemain bisa mempunyai berbagai karakteristik permainan. Bahkan lebih dari 1 jurnal yang menjelaskan itu. Saya juga sempat mengunggahnya di feed instagram beberapa waktu lalu, lengkap dengan link terkait. Hal itu pertama kali secara umum diungkapkan tahun 2012. Saya yakin para analisa NBA mengetahuinya sebelum itu. Muthu Alagapan menyimpulkan ada 13 posisi bermain basket. Haider Ali Hussain menyimpulkan ada 9 posisi dalam permainan bola basket. Dan kita masih berkutat dengan tinggi badan untuk menentukan posisi bermain.
Lalu apakah benar, liga kita cukup modern untuk menjadi percontohan bola basket yang terus berkembang di luar sana? Apakah benar yang penting harus ada liga di tahun ini dan selanjutnya dipikir ntar?
Mengapa harus ada liga?
Ujung tombak bola basket di kancah internasional.
Saat kita berbicara bola basket USA, kita pasti membahas NBA, WNBA, G-League, NCAA atau AAU. Kalo kita bahas Australia pasti teringat karena Australia mengalahkan USA di piala dunia terakhir. Dan mereka punya NBL. Lalu tiba-tiba kita sadar ooo… ternyata banyak juga ya pemain Australia yang main di NBA (lagi-lagi liga). Filipina, yang selalu menjadi mimpi buruk kita di sektor putra, punya PBL. Di sisi putri Filipina punya WPBL yang baru lahir tahun 2019. Baru 2 tahun lalu. Thailand dengan TBL di sisi putra. Bagaimana negara eropa? Sebut saja Serbia atau Lithuania. Kita kenal beberapa pelatih dari negara tersebut tampil di liga Indonesia. Dan mereka mepunyai Euro League.
Semua negara yang maju bola basket-nya, pasti mempunyai liga yang selalu menjadi buah perbincangan. Mereka yakin, liga adalah ujung tombak dari kemajuan bola basket negaranya. Dan mereka membuat semua yang berkaitan dengan liga terlihat sebagus mungkin, se-modern mungkin, se-inovatif mungkin. Itulah bagaimana mereka mengumumkan kepada dunia bagaimana bola basket negaranya.
Liga sebagai ujung tombak dalam memperlihatkan bola basket secara luas ke dunia. Mulai dari media, website, informasi yang mudah dijangkau dan juga mudah dipahami. Saya teringat 6 tahun lalu saat masih menjadi bagian dari operator liga. Saya menulis surat kepada peserta liga yang berisi penjelasan beberapa advance statistic yang akan mulai saya kenalkan di website.
Sekarang sudah ada beberapa media yang menjelaskan secara luas tentang informasi tersebut, termasuk juga advance statistic. Dengan begitu liga meng-edukasi bukan hanya tim, tapi para fans secara tidak langsung. Dari beberapa media tersebut bisa juga dimanfaatkan untuk kelengkapan informasi oleh liga. Dan akan saling koreksi jika ada data yang berlawanan. Untuk selanjutnya, liga mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam dunia bola basket, bukan hanya sebagai penikmat dan berkomentar di media saja.
Jika sistem pertandingan liga berubah-ubah tiap musim, akan berpengaruh pada srtandar penilaian pemain atau tim. Misalnya, pemain A musim sebelumnya mencetak 10 poin per game, dan musim ini naik menjadi 15 poin per game. Maka pemain A boleh dibilang naik performanya dibanding musim lalu.
Secara kasat mata memang benar ada peningkatan. Tapi jika dimusim sebelumnya setiap tim bermain sebanyak 33 pertandingan, lalu sekarang menjadi 13 pertandingan, apakah layak untuk menjadi perbandingan? Atau kondisi lain, musim sebelumnya 10 tim saling bertemu sebanyak 2 kali dan musim selanjutnya berubah menjadi sistem group. Dengan tempat berproses yang berubah, tidak konsisten, apakah baik menjadi tolak ukur perkembangan performa? Akan lebih baik jika konsisten di setiap musim. Misalnya setiap tim bermain 20 kali dalam 1 musim. Dan begitu musim selaanjutnya, dan seterusnya. Begitu juga di musim berikutnya dan berikutnya. Sampai dengan batas waktu kita bisa berkembang bersama-sama.
Lalu apakah benar, liga kita sudah cukup cakap menjadi ujung tombak bola basket kita dimata dunia? Seperti apa bentuk liga kita nanti? Apakah benar yang penting harus ada liga di tahun ini dan selanjutnya dipikir ntar?
Ini adalah pandangan subyektif. Saya rasa dari pembaca, fans basket, atau beberapa akun media mempunyai pandangan masing-masing, mungkin bertentangan dengan saya. Mungkin federasi atau organisasi terkait justru sudah membuat langkah-langkah konkrit. Bukan hanya sebuah pandangan. Saya hanya mencoba “start with why ?” menurut pandangan saya.